0


Artikel berikut ini merupakan pembahasan bagaimana menyikapi para penghina Islam dan dimuat secara berseri dalam beberapa tusan. Hal ini sangat penting dibaca bagi kaum Muslimin karena berkaitan dengan ‘aqidah. Selain itu, agar kaum muslimin juga terhindar dari dosa yang bisa mengeluarkan diri dari dienul Islam, karena mengolok-olok Islam.

Fenomena Maraknya Aksi Penghinaan terhadap Islam

Berbagai macam penghinaan terhadap Islam marak terjadi di mana-mana. Mulai dari pemuatan karikatur Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh Jyllands Posten lalu ditiru oleh majalah Charlie Hebdo, pembakaran Al-Qur’an oleh Pendeta Kristen Terry Jones, pelecehan kalimat tauhid oleh wanita jalang Aliaa Magda Elmahdy dan lain-lain.

Tak hanya itu, pelecehan Islam ternyata juga terjadi di negara mayoritas Muslim terbesar di dunia, Indonesia. Orang-orang Kristen di negeri ini seenaknya melecehkan Islam. Sejak zaman wartawan murtad Arswendo Atmowiloto yang menghina Nabi Muhammad, disusul murtadin lainnya seperti Poernama Winangun dan Pendeta Suradi. Belum lama ini juga marak beredar video seorang murtadin bernama Saifudin Ibrahim yang kerap menghina Nabi Muhammad di berbagai kesempatan.

Ditambah lagi dengan kaum liberal yang membuat tulisan menghina syariat Islam seperti Ulil Abshar Abdalla dalam tulisannya “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”. Belum lagi kaum liberal di kampus-kampus IAIN yang dengan berani meneriakkan “Anjinghu Akbar” dan menyatakan Tuhan Membusuk.

Fenomena aksi pelecehan terhadap Islam ke depan akan terus terjadi selama umat Islam di negeri ini –pada khususnya- dan umat Islam di seluruh dunia tidak bersikap tegas terhadap musuh-musuh Islam.

Hukum bagi Penghina Islam

Pembahasan tentang hal ini sudah banyak dijelaskan dalam buku-buku maupun artikel, oleh sebab itu kali ini hanya akan diulas secara singkat. (Baca: Hukuman Mati bagi Penghina Agama Islam!)

Dalam syariat Islam dijelaskan bahwa bagi penghina Islam termasuk menghina simbol-simbol yang berkaitan dengannya, baik itu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Al-Qur’an atau menghina Allah Ta’ala dan lain-lain, maka hukumnya adalah vonis mati berdasarkan ijma’.

Allah Ta’ala berfirman:

وَإِنْ نَكَثُوا أَيْمَانَهُمْ مِنْ بَعْدِ عَهْدِهِمْ وَطَعَنُوا فِي دِينِكُمْ فَقَاتِلُوا أَئِمَّةَ الْكُفْرِ إِنَّهُمْ لا أَيْمَانَ لَهُمْ لَعَلَّهُمْ يَنْتَهُونَ

“Dan jika mereka melanggar sumpah (perjanjian)nya sesudah mereka mengikat perjanjian, dan mereka mencerca agama kalian, maka perangilah gembong-gembong kekafiran itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar supaya mereka berhenti” (QS. At-Taubah: 12).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:

إنه سماهم أئمة الكفر لطعنهم في الدين، فثبت أن كل طاعن في الدين فهو إمام في الكفر.

“Sesungguhnya Allah menamai mereka sebagai gembong-gembong kekafiran, lantaran cercaan mereka terhadap agama. Maka jadi pastilah bahwa setiap orang yang mencerca agama adalah gembong dalam kekafiran.”
Beliau juga mengatakan:

إن سب الله أو سب رسوله كفر ظاهراً وباطناً، سواء كان الساب يعتقد أن ذلك محرم، أو كان مستحلاً له، أو كان ذاهلاً عن اعتقاده، هذا مذهب الفقهاء وسائر أهل السنة القائلين بأن الإيمان قول وعمل.

فإن كان مسلماً وجب قتله بالإجماع، لأنه بذلك كافر مرتد وأسوأ من الكافر، فإن الكافر يعظم الرب، ويعتقد أن ما هو عليه من الدين الباطل ليس باستهزاء بالله ولا مسبة له

“Sesungguhnya mencaci Allah atau mencaci Rasul-Nya adalah kekafiran zhahir dan batin, sama saja apakah si pemaki meyakini haramnya perbuatan tersebut ataukah ia menghalalkannya, atau apakah ia lalai dari keyakinannya. Inilah pendapat yang diyakini oleh para fuqoha` dan seluruh golongan Ahlus Sunnah yang mengatakan bahwa iman adalah qaulun wa amalun (perkataan dan perbuatan).

Jika dia adalah seorang muslim, maka ia wajib dibunuh berdasarkan ijma`, oleh karena dengan perbuatannya (mencaci Allah dan Rasul-Nya) itu, ia menjadi kafir dan murtad, lebih buruk dari seorang kafir asli. Oleh karena seorang kafir asli (ahli Kitab) tetap mengagungkan Allah, dan meyakini bahwa agama batil yang dianutnya bukanlah untuk memperolok-olok Allah ataupun menghina-Nya.”[1]

Dengan demikian, jelaslah bahwa tidak ada pintu perdebatan terkait hukum para penghina Islam, baik sang pelaku itu mengaku Muslim maupun ia adalah orang kafir, hukumannya adalah mati.

Tak ada Maaf bagi Penghina Islam

Belum lama ini ada beberapa video tersebar di Youtube yang berisi parodi, lelucon atau candaan, tetapi secara tidak langsung isinya adalah mengolok-olok Allah Ta’ala serta ayat suci Al-Qur’an dalam video tersebut.[2] 

Apakah orang yang menghina Allah dan agama diberi udzur dengan ketidak tahuannya atau diberi udzur dengan sesuatu di antara Mawaani`ut takfiir?[3]

Ketahuilah bahwa orang yang menghina Allah dan agama, tidak diberi udzur dengan ketidaktahuannya atau dengan sesuatu di antara mawaani`ut takfiir, kecuali jika dia dalam keadaan mukrah/dipaksa. Adapun sebab alasannya ialah bahwa udzur itu diberikan pada ketidak-berdayaan yang tak mungkin dapat ditolak…dan tidak adanya kemungkinan/kemampuan untuk mendapatkan ilmu yang benar.

Sedangkan orang yang menghina, keadaannya tidaklah demikian, dia tahu bahwa orang Islam haruslah membesarkan, mengagungkan dan memuliakan Allah sejak mula pertama dia masuk Islam dengan mengucapkan syahadat bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasulullah…dan dia tahu –sejak saat pertama– bahwa dia tidak boleh sama sekali menghina Allah Ta`ala atau mencemooh sedikitpun di antara agama dan ayat-ayat-Nya…orang yang keadaannya demikian, maka bagaimana mungkin ia diberi udzur jahl (bodoh/tidak tahu) atau dengan suatu Maani` di antara Mawaani`ut takfiir kecuali Ikroh (dalam keadaan dipaksa)!!?[4]

Allah Ta’ala berfriman:

مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman kecuali orang yang dipaksa sedang hatinya tenteram (tetap) dengan iman, tetapi barangsiapa yang hatinya terbuka dadanya menerima kekafiran, maka atas mereka kemurkaan dari Allah. Dan bagi mereka adzab yang besar.” (QS. An-Nahl 106).
Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahhab rahimahullah mengatakan:

فلم يعذر الله من هؤلاء إلا من أكره مع كون قلبه مطمئناً بالإيمان، وأما غير هذا فقد كفر بعد إيمانه سواء فعله خوفاً أو مداراة، أو مشحة بوطنه، أو أهله أو عشيرته، أو ماله أو فعله على وجه المزح، أو لغير ذلك من الأغراض إلا المكره، والآية تدل على هذا من جهتين: الأولى قوله: {إلا من أكره} فلم يستثني الله إلا المكره، والثانية قوله تعالى: {ذلك بأنهم استحبوا الحياة الدنيا على الآخرة}، فصرح أن هذا الكفر والعذاب لم يكن بسبب الاعتقاد أو الجهل أو البغض للدين، أو محبة الكفر، وإنما سببه أن له في ذلك حظاً من حظوظ الدنيا فآثره على الدين

“Allah tidak memberi udzur kepada orang-orang yang kafir kepada-Nya, kecuali orang yang dipaksa sedangkan hatinya tetap mantap dengan keimanan. Adapun alasan selain ini, maka sesungguhnya dia telah kafir sesudah beriman. Sama saja apakah dia melakukannya karena takut atau untuk mencari muka, atau untuk mengutamakan kepentingan negerinya, atau keluarganya atau kerabatnya atau hartanya, ataukah dia melakukannya dengan niat berseloroh atau dengan motif-motif tujuan lain selain mukroh (dalam keadaan dipaksa).[5]
Alasan berikutnya, mengapa para penghina Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tak bisa dimaafkan, sehingga tak bisa menyelamatkannya dari hukuman mati adalah:

Memberi ma`af dan tidaknya adalah hak khusus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berhak memberi maaf dan berhak pula untuk tidak memberi maaf terhadap orang yang menghina pribadinya, dan dua hal itu memang benar pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kehidupannya.

Akan tetapi sesudah wafatnya, maka siapa di antara ummat yang diberi hak untuk memberi maaf atas hak yang hanya khusus dimiliki Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam?

Tak ada keraguan lagi bahwa tak ada seorangpun yang dapat mengklaim untuk dirinya hak istimewa ini, maka dari itu para sahabat dahulu tidak memandang ada hukuman lain yang pantas bagi orang yang mencaci Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau menghinanya, selain hukuman mati.

Adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan:

إن حد الأنبياء ليس يشبه الحدود. من حيث القصاص والجزاء في الدنيا والآخرة، ومن حيث إمكانية العفو؛ فإن أمكن إسقاط بعض الحدود بعفو المحقين عن المحقوقين، فإنه لا يمكن إسقاط حد الأنبياء، لأنه لا أحد بعد وفاتهم مخول بالعفو عن حق هو خاص بهم.

“Sesungguhnya had para Nabi (yakni hukuman yang berlaku atas diri orang yang mencaci dan menghina) para Nabi tidaklah serupa dengan had-had hukuman biasa, dari sisi qishash dan balasannya di dunia dan akhirat, dan dari sisi pemberian maaf; jika ada kemungkinan menggugurkan sebagian had hukuman karena adanya pemberian maaf dari orang-orang yang berhak atas qishash terhadap orang-orang yang berhak diqishash, maka sesungguhnya tak ada kemungkinan menggugurkan had para Nabi, oleh karena tak seorangpun sesudah wafat mereka yang diberi hak untuk memberi ma`af atas hak yang hanya khusus menjadi milik mereka.”[6] Wallahu a’lam. 

______________________
[1] Ash Shaarim Al Masluul, hal: 17, 512, 546.
[2] Diriwayatkan dari Ibnu Umar, Muhammad bin Ka’ab, Zaid bin Aslam dan Qotadah, hadits dengan rangkuman sebagai berikut. Disebutkan bahwa pada suatu perjalanan perang (yaitu perang Tabuk), ada orang di dalam rombongan tersebut yang berkata, “Kami tidak pernah melihat seperti para ahli baca Al-Qur’an ini (yang dimaksudkan adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya), kecuali sebagai orang yang paling buncit perutnya, yang paling dusta ucapannya dan yang paling pengecut tatkala bertemu dengan musuh.”
(Mendengar hal ini), ‘Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata kepada orang tersebut, “Engkau dusta, kamu ini munafik. Aku akan melaporkan ucapanmu ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Maka ‘Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu pun pergi menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun sebelum ‘Auf sampai, wahyu telah turun kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam (tentang peristiwa itu).
Kemudian orang yang bersenda gurau dengan menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai bahan candaan itu mendatangi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang saat itu sudah berada di atas untanya. Orang tadi berkata, “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami tadi hanyalah bersenda gurau, kami lakukan itu hanyalah untuk menghilangkan kepenatan dalam perjalanan sebagaimana hal ini dilakukan oleh orang-orang yang berada dalam perjalanan!”
Ibnu Umar (salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berada di dalam rombongan) bercerita, “Sepertinya aku melihat ia berpegangan pada tali pelana unta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan kakinya tersandung-sandung batu sembari mengatakan, “Kami tadi hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.”
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya (dengan membacakan firman Allah),
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآَيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (65) لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.” (QS. At-Taubah: 65-66).
Beliau mengucapkan itu tanpa menoleh orang tersebut dan beliau juga tidak bersabda lebih dari itu.” (HR. Ibnu Jarir Ath Thobariy dan Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Umar).
[3] Mawaani`ut Takfiir adalah perkara-perkara yang mencegah pengkafiran diri seseorang
[4] Tanbihul Ghafilin Ila Syatimillah wad dien, Hal 22
[5] Majmu’atut Tauhuiid, Hal 88- 89
[6] Tanbihul Ghafilin Ila Syatimillah wad dien, Hal 28

Posting Komentar

 
Top